Harvest Moon Fanfic (Chapter 1 - Promised Land)

FF ini adalah fanfic dari Harvest Moon : Back To Nature dengan dicampur elemen dari Friends of Mineral Town. Namun, jangan kaget bila ada beberapa event yang dibikin berbeda. Dan satu lagi, there will be NO HARVEST STRIPES. Enjoy !!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku tak pernah punya hidup yang bahagia. Saat aku masih kecil, orang tuaku jarang sekali mengurusku. Urusan pekerjaan, kata mereka, tapi aku jelas tidak percaya sepenuhnya pada mereka. Saat aku masih anak-anak mungkin aku masih punya kepercayaan pada mereka. Namun aku tumbuh menjadi seorang remaja, tahu mana yang salah dan mana yang benar. Dan aku tahu mereka berbohong.

Kebohongan mereka makin menjadi seiring berlalunya waktu, yang berputar meninggalkanku karena aku ditahan mereka, yang berusaha menolak jaman. Orang tuaku tak pernah memberiku sesuatu yang bagus. Mereka hanya mendidikku dengan kejelekan, itu pun kalau mereka sempat mendidik. Saat aku kecil, aku sering berharap dilahirkan di keluarga yang berbeda, tapi sekarang aku merasa keinginanku sungguh bodoh.

Orang tuaku sangat kubenci, sampai akhir hidup mereka. Satu-satunya orang yang kupercayai adalah kakekku. Dia sangat baik terhadapku, berbeda dengan kedua orang tuaku, yang selalu mengurungku. Mereka selalu memasang muka dua di hadapan kakekku, tapi aku tahu kakek sudah tahu yang sebenarnya. Sayangnya, aku hanya bertemu dengannya sekali. Hanya satu kali.

Waktu itu, aku masih kecil. 12 tahun lalu, ya, dua belas tahun. Waktu itu usiaku masih 6 tahun. Aku diajak orang tuaku ke rumah kakekku, yang merangkap sebagai peternakan dan ladang. Sampai sekarang, aku masih tidak tahu kenapa mereka mengajakku kesana. Bukankah mereka selalu mengungkungku? Mungkin mereka punya urusan atau apalah itu dengan kakekku, aku tidak tahu. Dan aku tidak mengurusi hal itu.

Aku masih ingat bagaimana wajah dan perilaku kakekku. Tapi anehnya, ingatanku tentang hal lain yang kulakukan disana hanya samar-samar saja, seolah tertutup kelabu. Aku ingat kakekku punya peternakan dan ladang yang luas, tapi aku tidak ingat secara persis bentuk dan rupanya. Aku ingat kakekku membawaku keliling kota kecil itu dan memperkenalkanku pada orang-orang. Tapi aku tidak ingat siapa mereka.

Aku masih ingat saat kakekku menghisap cangklong kesayangannya sambil duduk di kursi goyang dan membacakanku cerita. Tapi aku tidak ingat cerita apa yang dibacakannya. Aku masih ingat juga saat kakekku membawaku ke pinggir hutan, lalu ke air terjun. Tapi aku tidak ingat, yang aku ingat selain tempatnya hanya aku dan kakekku.

Kecuali satu, satu kejadian. Saat itu kakekku sedang bersama orang tuaku, membicarakan hal yang tidak menjadi urusanku. Aku merasa kesepian dan duduk di teras rumah kakekku sendirian. Tanpa ada siapapun. Meskipun aku sudah sering mengalami perasaan ini, tapi anehnya kali ini aku merasa sesak. Namun, seorang gadis mendekatiku.

Aku tidak tahu siapa dia, tidak ingat wajahnya bahkan warna rambutnya. Tapi aku ingat satu hal darinya. Sebuah janji. Janji dengan jari kelingking. Janji, bahwa aku akan kembali lagi, suatu saat. Itulah satu-satunya hal yang kuingat selain kakekku disana. Sayangnya aku hanya sebentar saja berada disana, karena orang tuaku yang jahat memaksaku pergi. Tapi, aku pasti kembali. Demi janji itu.

Waktu terus berlalu, dan orang tuaku meninggal. Aku tidak menangis, juga tidak bersedih. Untuk apa, lagipula, untuk apa aku menangis? Bahkan, kalau orang yang kau sayangi meninggal, menangisinya tidak akan membawanya kembali. Apalagi kalau itu orang seperti kedua orang tuaku. Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan aku hanya lebih bersyukur karena tubuh mereka hancur terlindas truk.

Sekarang, aku tidak tahu kemana aku harus pergi. Aku tidak punya sanak saudara lagi karena orangtuaku juga keduanya anak tunggal, sama sepertiku. Hanya kakekku, hanya dia yang terpikir dalam pikiranku. Aku segera terdorong untuk kembali ke sana, ke kota itu, dan tinggal bersama kakekku sekaligus untuk memenuhi janjiku pada gadis itu. Tapi aku tidak tahu dimana dia berada. Meskipun begitu, aku pasti kembali kesana. Demi janji itu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku masih mengacak-acak kamar yang dulu ditempati kedua orang tuaku, mencari sesuatu yang bisa jadi petunjuk akan keberadaan kakekku. Aku masih tidak tahu apa yang ada di pikiran orang tuaku, menyembunyikan keberadaan kakekku dariku. Yah, tapi biarlah itu menjadi urusan di hari lain. Tak ada waktu untuk memikirkan itu. Lagipula, beberapa hari lagi rumahku ini akan dijual.

Dengan harga murah, tentu saja.

Aku akan hidup di rumah kakekku nanti, mungkin membantunya di ladang dan peternakannya. Uang hasil penjualan rumahku nanti bisa dipakai untuk membantu sebagai modal, mungkin? Tapi tidak juga, maka aku menerima saja saat ada yang membeli rumahku dengan harga semurah itu.

Masih mencari petunjuk. Sial, memang mereka sangat pandai menyembunyikannya. Atau bukan di kamar ini kah? Tidak, aku sudah memeriksa semuanya. Lagipula secara logis memang kamar ini yang paling mencurigakan. Akhirnya, di sebuah laci aku menemukan sepucuk surat. Surat yang amplopnya sudah terbuka.

Aku membukanya, dan membaca isinya.

Untuk Jack.

Sebelum kakek meninggal, kakek berpesan padamu, jangan jadi anak yang nakal. Jadilah anak baik, dan janganlah kamu mencari gara-gara atau apapun itu hal-hal yang buruk. Kakek tidak bisa memberimu banyak hal, tapi sebagai permintaan maaf kakek karena jarang bisa bertemu denganmu, terimalah peternakan, ladang dan rumah kakek sebagai warisan dari kakek untukmu. Rawatlah apa yang kakek berikan padamu, dan jaga baik-baik.

Kakekmu yang tidak melupakanmu.

Air mataku menitik saat membacanya. Aku segera menghapusnya sambil mengutuk orang tuaku yang menyembunyikan semuanya dariku. Aku segera melihat amplop untuk mengetahui dari mana surat ini dikirim, yang juga berarti di mana rumah kakekku.

Eden Farms, Mineral Town.

Segera kucatat alamat itu dan aku berkemas. Aku akan segera pergi, untuk menggapai janjiku. Harus. Aku harus pergi kesana, dan menuntaskan pesan kakekku untuk mengurus peternakan itu. Segera aku hubungi orang yang berniat membeli rumahku untuk secepatnya datang dan langsung menyerahkan uangnya.

Setelah mendapat uangnya, aku langsung bergegas. Tak ada waktu yang bisa kubuang. Aku langsung membuka peta dan menemukan letak Mineral Town, yang ternyata terpisah oleh sebuah selat dari kotaku. Aku segera menghubungi agen kapal laut untuk memesan tiket kapal feri. Dan seolah menyadari maksudku untuk tidak sedikitpun membuang waktu, agen itu memberitahuku kapal itu akan berangkat sebentar lagi.

Aku langsung bergegas dan akhirnya aku berhasil tiba di kapal. Perjalanan cukup lama, sekitar beberapa jam dan kulalui dengan membosankan. Aku berusaha melupakan masa laluku disana, dan menyongsong hidup baru yang menungguku di Mineral Town.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar