Kapal mendarat di pelabuhan Mineral Town. Pelabuhan yang kecil, tapi cukup tertata dengan baik meskipun hanya mampu mendaratkan satu kapal saja. Tanpa banyak prosedur tetek-bengek, para penumpang yang hanya sedikit termasuk aku turun. Aku tidak memperdulikan penumpang lainnya, hanya buang-buang waktu saja untuk saat ini. Aku hanya berfokus pada peternakan kakekku.
Tapi aku tersesat. Aku mondar-mandir di kota kecil itu tanpa arah. Berkat keteledoranku yang lupa mencari letak Eden Farm lebih dulu. Penyesalan selalu datang terlambat, aku tahu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan tanpa petunjuk apapun aku datang ke lapangan kota, mencari apakah ada peta atau semacamnya. Sayangnya tidak. Menghela nafas, aku duduk di bangku taman, lelah dan hampir menyerah.
Namun, aku melihat sesosok orang datang dari dalam kota. Penampilannya sebenarnya agak lucu, dengan tubuh gemuk pendek, kumis dan jenggot lebat serta topi merah yang terlihat menutupi mukanya. Meskipun begitu, dia terlihat cukup berwibawa. Aku segera menghampirinya.
“Maaf.. Pak.. anda tahu dimana letak Eden Farm?”
“Kenapa kamu ingin kesana, anak muda? Itu peternakan yang sudah enam bulan ditinggalkan oleh pemiliknya, dan pewarisnya tak kunjung datang. Ia sungguh seorang yang baik dan ramah..”
“Tapi, Pak, saya ini pewaris peternakan itu!”
“Oh! Jadi kamu.. Jack? Kamu Jack? Jack yang selalu dibanggakan dia?”
“Benar Pak, saya Jack.”
“Ah, maaf, maaf! Kenalkan, aku walikota Mineral Town, namaku Thomas.”
“Jadi anda walikota? Oh, maafkan saya, saya agak.. lancang.”
“Tidak, tidak, akulah yang harus minta maaf. Ayo, kuantarkan kesana.”
Walikota bertubuh gempal itu berjalan ke dalam kota, dan aku mengikutinya. Aku sebenarnya agak tidak percaya bahwa bapak-bapak gendut itulah walikota kota kecil ini. Penampilan bisa menipu, memang bisa menipu. Tapi sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tanpa terasa kami sudah tiba di depan Eden Farm.
Situasi Eden Farm sungguh mengejutkanku. Ladang peninggalan kakekku sudah amat berantakan, ditumbuhi ilalang yang lebat dan banyak batu-batu besar menghalangi. Kandang-kandang ayam, sapi dan kuda juga tidak lebih baik. Hanya rumah kakekku yang terlihat masih cukup bagus.
“Ini.. memang berapa lama peternakan ini sudah ditinggalkan?”
“Kamu tidak tahu? Kakekmu meninggal enam bulan lalu, dan tidak ada lagi yang mengurus peternakan ini sejak saat itu.”
“Enam bulan??”
Orang tuaku memang bajingan.
“Lalu.. apa saja yang tersisa?”
“Hanya ini. Semua ayam dijual kakekmu sebelum dia meninggal, sementara sapi dan domba yang ia punya disembelih dan dagingnya dibagikan pada penduduk kota. Hanya kuda miliknya saja yang diberikan pada Barley, pemilik Yodel Farm. Dan sisanya.. yah, kau tahu apa sisanya.”
“Tapi.. apa tidak ada peralatan atau semacamnya untuk membantuku membereskan semua ini?”
“Ah, sekarang setelah kau menanyakannya, aku ingat semua peralatan yang dia miliki ada di dalam rumahnya. Kebetulan juga aku masih membawa kunci rumahnya di sakuku. Ini.”
Aku mengambil kunci rumah kakekku, yang sekaligus secara simbolis kunci untuk Eden Farm ini.
“Dan kunci kandang?”
“Kakekmu meninggalkannya di dalam rumah.”
“Ah, terima kasih.”
“Nah, Jack, aku tinggalkan dulu kamu disini. Oh ya, rumahku ada di sana, di tengah kota, ada plang-nya. Kapan-kapan datanglah berkunjung.”
“Baik.”
Thomas si walikota itu pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa membuang waktuku lebih banyak lagi dan berjalan menuju rumah kakekku, yang sekarang menjadi rumahku. Membuka pintunya dengan kunci, aku masuk ke dalam. Ternyata, meskipun rumah itu kecil namun bagian dalamnya masih cukup terawat, kalau debu dan sarang laba-labanya tidak dihitung. Ada tempat tidur, meja kecil dengan kunci-kunci di atasnya, TV, kalender dan sebuah peti.
Peti itu pasti tempat kakekku menyimpan barang-barangnya. Aku segera mengambil kunci-kunci yang ada diatas meja dan mencobanya satu persatu. Beberapa kali aku gagal. Yah, memang trial and error diperlukan untuk hal-hal seperti ini. Akhirnya aku memilih kunci yang tepat dan peti itu terbuka.
Isinya cukup banyak. Untungnya, perkataan si walikota benar. Ada beberapa alat yang bisa dipakai. Ada cangkul, palu besar, arit, alat penyiram dan kapak. Semuanya cocok untuk pekerjaanku. Aku memegang alat-alat itu satu persatu. Jujur, aku belum pernah memegang alat-alat ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah mencangkul. Tapi apa daya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencobanya.
Maka, aku mengambil arit dan bergegas keluar. Untuk ladang yang dipenuhi ilalang seperti ini, jelas arit lebih dibutuhkan. Aku berdiri di hadapan ladang yang penuh dengan ilalang, menghela nafas sebelum aku menyingsingkan lengan bajuku dan mulai menyabit ilalang-ilalang itu.
Tanpa terasa, hari sudah malam. Aku baru berhasil membuka sedikit lahan. Ternyata pekerjaan seperti ini melelahkan, amat sangat melelahkan. Tapi aku masih tak punya pilihan lain. Aku harus melakukan ini. Dengan letih aku kembali masuk ke rumahku. Setelah mandi aku langsung melompat ke tempat tidur, seolah bertemu dengan kekasih yang lama hilang. Sekarang aku lelah sekali. Mungkin besok aku akan menanyakan sedikit hal pada penduduk kota, dan bertemu dengan gadis itu lagi?
Tapi aku tersesat. Aku mondar-mandir di kota kecil itu tanpa arah. Berkat keteledoranku yang lupa mencari letak Eden Farm lebih dulu. Penyesalan selalu datang terlambat, aku tahu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan tanpa petunjuk apapun aku datang ke lapangan kota, mencari apakah ada peta atau semacamnya. Sayangnya tidak. Menghela nafas, aku duduk di bangku taman, lelah dan hampir menyerah.
Namun, aku melihat sesosok orang datang dari dalam kota. Penampilannya sebenarnya agak lucu, dengan tubuh gemuk pendek, kumis dan jenggot lebat serta topi merah yang terlihat menutupi mukanya. Meskipun begitu, dia terlihat cukup berwibawa. Aku segera menghampirinya.
“Maaf.. Pak.. anda tahu dimana letak Eden Farm?”
“Kenapa kamu ingin kesana, anak muda? Itu peternakan yang sudah enam bulan ditinggalkan oleh pemiliknya, dan pewarisnya tak kunjung datang. Ia sungguh seorang yang baik dan ramah..”
“Tapi, Pak, saya ini pewaris peternakan itu!”
“Oh! Jadi kamu.. Jack? Kamu Jack? Jack yang selalu dibanggakan dia?”
“Benar Pak, saya Jack.”
“Ah, maaf, maaf! Kenalkan, aku walikota Mineral Town, namaku Thomas.”
“Jadi anda walikota? Oh, maafkan saya, saya agak.. lancang.”
“Tidak, tidak, akulah yang harus minta maaf. Ayo, kuantarkan kesana.”
Walikota bertubuh gempal itu berjalan ke dalam kota, dan aku mengikutinya. Aku sebenarnya agak tidak percaya bahwa bapak-bapak gendut itulah walikota kota kecil ini. Penampilan bisa menipu, memang bisa menipu. Tapi sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tanpa terasa kami sudah tiba di depan Eden Farm.
Situasi Eden Farm sungguh mengejutkanku. Ladang peninggalan kakekku sudah amat berantakan, ditumbuhi ilalang yang lebat dan banyak batu-batu besar menghalangi. Kandang-kandang ayam, sapi dan kuda juga tidak lebih baik. Hanya rumah kakekku yang terlihat masih cukup bagus.
“Ini.. memang berapa lama peternakan ini sudah ditinggalkan?”
“Kamu tidak tahu? Kakekmu meninggal enam bulan lalu, dan tidak ada lagi yang mengurus peternakan ini sejak saat itu.”
“Enam bulan??”
Orang tuaku memang bajingan.
“Lalu.. apa saja yang tersisa?”
“Hanya ini. Semua ayam dijual kakekmu sebelum dia meninggal, sementara sapi dan domba yang ia punya disembelih dan dagingnya dibagikan pada penduduk kota. Hanya kuda miliknya saja yang diberikan pada Barley, pemilik Yodel Farm. Dan sisanya.. yah, kau tahu apa sisanya.”
“Tapi.. apa tidak ada peralatan atau semacamnya untuk membantuku membereskan semua ini?”
“Ah, sekarang setelah kau menanyakannya, aku ingat semua peralatan yang dia miliki ada di dalam rumahnya. Kebetulan juga aku masih membawa kunci rumahnya di sakuku. Ini.”
Aku mengambil kunci rumah kakekku, yang sekaligus secara simbolis kunci untuk Eden Farm ini.
“Dan kunci kandang?”
“Kakekmu meninggalkannya di dalam rumah.”
“Ah, terima kasih.”
“Nah, Jack, aku tinggalkan dulu kamu disini. Oh ya, rumahku ada di sana, di tengah kota, ada plang-nya. Kapan-kapan datanglah berkunjung.”
“Baik.”
Thomas si walikota itu pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa membuang waktuku lebih banyak lagi dan berjalan menuju rumah kakekku, yang sekarang menjadi rumahku. Membuka pintunya dengan kunci, aku masuk ke dalam. Ternyata, meskipun rumah itu kecil namun bagian dalamnya masih cukup terawat, kalau debu dan sarang laba-labanya tidak dihitung. Ada tempat tidur, meja kecil dengan kunci-kunci di atasnya, TV, kalender dan sebuah peti.
Peti itu pasti tempat kakekku menyimpan barang-barangnya. Aku segera mengambil kunci-kunci yang ada diatas meja dan mencobanya satu persatu. Beberapa kali aku gagal. Yah, memang trial and error diperlukan untuk hal-hal seperti ini. Akhirnya aku memilih kunci yang tepat dan peti itu terbuka.
Isinya cukup banyak. Untungnya, perkataan si walikota benar. Ada beberapa alat yang bisa dipakai. Ada cangkul, palu besar, arit, alat penyiram dan kapak. Semuanya cocok untuk pekerjaanku. Aku memegang alat-alat itu satu persatu. Jujur, aku belum pernah memegang alat-alat ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah mencangkul. Tapi apa daya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencobanya.
Maka, aku mengambil arit dan bergegas keluar. Untuk ladang yang dipenuhi ilalang seperti ini, jelas arit lebih dibutuhkan. Aku berdiri di hadapan ladang yang penuh dengan ilalang, menghela nafas sebelum aku menyingsingkan lengan bajuku dan mulai menyabit ilalang-ilalang itu.
Tanpa terasa, hari sudah malam. Aku baru berhasil membuka sedikit lahan. Ternyata pekerjaan seperti ini melelahkan, amat sangat melelahkan. Tapi aku masih tak punya pilihan lain. Aku harus melakukan ini. Dengan letih aku kembali masuk ke rumahku. Setelah mandi aku langsung melompat ke tempat tidur, seolah bertemu dengan kekasih yang lama hilang. Sekarang aku lelah sekali. Mungkin besok aku akan menanyakan sedikit hal pada penduduk kota, dan bertemu dengan gadis itu lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar